PENYAKIT
BOVINE VIRAL DIARRHEA (BVD) PADA TERNAK SAPI BETINA DAN MENGATASINYA
1. Pengertian dan Klasifikasi Bovine
Viral Diarrhea (BVD)
Penyakit bovine viral
diarrhea (BVD) merupakan penyakit menular pada sapi yang disebabkan oleh virus.
(Primawidyan, dkk). Sedangkan menurut (Paton,1995) merupakan penyakit viral
pada sapi yang disebabkan oleh virus BVD, mudah ditularkan diantara sapi yang
telah menyebar ke seluruh dunia. Virus BVD dapat menular secara horizontal
maupun secara vertikal (Middleton, 2006). Penyakit ini ditemukan di Amerika (Olafson et al.,1946). Ketika itu kejadiannya
adalah wabah yang bersifat akut , ditandai dengan kematian seperti penakit rinderpest.
Tanda klinis yang terlihat berupa
ulserasi pada mukosa saluran pencernaan dan diare. Virus BVD termasuk pestivirus yang diklasifikasikan
sebagai virus RNA famili Flaviviridae (OIE,
2008; DONIS, 1995) Virus BVD secara antigenik ada hubungannya dengan Hog
Cholera (swine fever) (SHEFFY et al.,
1962) yang berkembang pada babi. Hal ini menyebabkan permasalahan dalam
diagnosa hog cholera (CARBREYet al., 1976) pada babi dan domba. Virus ini juga
sering bertindak sebagai kontaminan pada biakan sel, karena fetal calf serum yang digunakan pada
media pertumbuhan biakan sel dapat terkontaminasi oleh virus BVD.
Virus BVD diklasifikasikan dalam biotipe sebagai cytopathic (CP) dan
non cytopathic (NCP) dalam hal dapat diamati atau tidak dapat diamati perubahan
sitopatik pada biakan sel yang terinfeksi (BAKER, 1995). Secara genotipik virus
BVD juga dapat diklasifikasikan kedalam beberapa sub tipe (BVDV-1a, 1b dan 2a)
(PELLERIN et al., 1994; RIDPATHet al., 1994;FULTON et al., 1997; FULTONet al.,
2003; RIDPATHet al., 2000).
2.
Sebab
Dan Tanda-tanda atau Gejala klinis BVD
Virus
BVD-MD menyerang sapi dengan gejala: demam tinggi, depresi, diare, lesi pada
mukosa mulut dan sistem pencernaan, pada
2-9 bulan kebuntingan serta terjadinya kawin berulang. Gambaran penyakit secara klinis bervariasi
tergantung kepada virus BVD yang mengifeksi seperti kontak antar farm melalui peternak yang berlansung kontak dengan sapi yang terinfeksi
kepada sapi lainnya (Khars,1981). Cara infeksi
dapat melalui ihalasi, atau ditelat lewat mulut dari air ludah yang terinfeksi,
cairan mata ataupu hidung, ataupun melalui feses atau urine yang terinfeksi
(Stobe,1984;Duffel da Harkness,1985; Baker 1987). Infeksi menyebar secara cepat antar
sapi yang peka, yaitu yang berumur muda, tetapi munculnya gejala klinis sangat
berbeda bila ditinjau dari masa inkubasi penyakit dan intervalnya sangat beragam
antara infeksi pada masa kebuntingan, ketika terjadi abortus ataupun anomali
pada sapi saat kelahiran (KAHRS, 1981). Gambaran penyakit
secara klinis diataraya yaitu infeksi non klinis yang tidak terlihat atau
kejadian demam yang ringa (sering disebut sebagai gangguan respirasi) hingga
kepada kejadian yang akut dan fatal. Infeksi kronis dapat juga terjadi. Kehilanga
berat badan sering terjadi sporadic dan tanda klinis sering terlihat kurang
dari 1% hewan yang terinfeksi. Pada
peternakan penghasil anak dan peternakan sapi perah, abortus dan anomaly kongenital
merupakan dampak yang terasa secara ekonomis (Khars,1981)
3. Pencegahan serta pengawasan Terhadap
Penyakit (BVD)
Beberapa
negara Eropa secara nasional dan regional melakukan pengawasan dan pemberantasan
penyakit BVD. Kebanyakan dari negara-negara tersebut menggunakan vaksin untuk
pencegahan penyakit BVD tanpa adanya program
yangdisosialisasikan secara nasional, karena program vaksinasi tidak
berlakusecara nasional. Di Jerman, vaksin digunakan di negara bagian yang
prevalensi penyakit BVD-nya tinggi (HOUE et al.2006). Strategi pencegahan untuk
pengawasan dan pemberantasan BVD yaitu:
a)
dengan
vaksinasi secara teratur.
b)
pengvaksinan dilakukan pada usia mulai 14 – 21
hari setelah disapih.
c)
Untuk sapi dewasa vaksinasi
boosterdilakukan pada sapi bunting dalam rangka pengujian terhadap kemungkinan
terjadinya persistent infection pada sapi-sapi tersebut. Pada pejantan
vaksinasi dilakukan tiap tahun. Pada sapi perah program vaksinasi dilakukan
mulai umur 5 –6 bulan.
d)
Pengobatan dengan pemberian
antibiotika, pencegahan dengan vaksinasi umur 9-10 bulan. Sanitasi dan
desinfeksi kandang dan lingkungan penting untuk diperhatikan Vaksin inaktif
seperti yang diamati oleh MCCLURKIN et al.
(1975) secarakomersil tidak ada. Penggunaan yang praktis dan ekonomis masih belum
ada teknologinya untuk mendapatkan produsen yang mampu menyediakan dosis cukup
yang dibutuhkan sapi. Vaksin inaktif sangat aman digunakan pada sapi bunting
dan pada kondisi apapun,karenapenggunaan vaksin modified live vaccine(MLV/vaksin
hidup)masih bersifat kontra indikasi sampai saat ini. Akan tetapi vaksin
inaktif membutuhkan pemberian yang berulang (KAHRS 1981)
SEMOGA BERMANFAAT :)