Kamis, 23 April 2020

PENYAKIT BOVINE VIRAL DIARRHEA (BVD) PADA TERNAK SAPI BETINA DAN MENGATASINYA


PENYAKIT BOVINE VIRAL DIARRHEA (BVD) PADA TERNAK SAPI BETINA DAN MENGATASINYA

1. Pengertian dan Klasifikasi Bovine Viral Diarrhea (BVD)
Penyakit bovine viral diarrhea (BVD) merupakan penyakit menular pada sapi yang disebabkan oleh virus. (Primawidyan, dkk). Sedangkan menurut (Paton,1995) merupakan penyakit viral pada sapi yang disebabkan oleh virus BVD, mudah ditularkan diantara sapi yang telah menyebar ke seluruh dunia. Virus BVD dapat menular secara horizontal maupun secara vertikal (Middleton, 2006).  Penyakit ini ditemukan di Amerika (Olafson et al.,1946). Ketika itu kejadiannya adalah wabah yang bersifat akut , ditandai dengan kematian seperti penakit rinderpest. Tanda klinis yang terlihat berupa ulserasi pada mukosa saluran pencernaan dan diare. Virus BVD termasuk pestivirus yang diklasifikasikan sebagai virus RNA famili Flaviviridae (OIE, 2008; DONIS, 1995) Virus BVD secara antigenik ada hubungannya dengan Hog Cholera (swine fever) (SHEFFY et al., 1962) yang berkembang pada babi. Hal ini menyebabkan permasalahan dalam diagnosa hog cholera (CARBREYet al., 1976) pada babi dan domba. Virus ini juga sering bertindak sebagai kontaminan pada biakan sel, karena fetal calf serum yang digunakan pada media pertumbuhan biakan sel dapat terkontaminasi oleh virus BVD.
Virus BVD diklasifikasikan dalam biotipe sebagai cytopathic (CP) dan non cytopathic (NCP) dalam hal dapat diamati atau tidak dapat diamati perubahan sitopatik pada biakan sel yang terinfeksi (BAKER, 1995). Secara genotipik virus BVD juga dapat diklasifikasikan kedalam beberapa sub tipe (BVDV-1a, 1b dan 2a) (PELLERIN et al., 1994; RIDPATHet al., 1994;FULTON et al., 1997; FULTONet al., 2003; RIDPATHet al., 2000).
2.   Sebab Dan Tanda-tanda atau Gejala klinis BVD
Virus BVD-MD menyerang sapi dengan gejala: demam tinggi, depresi, diare, lesi pada mukosa mulut dan sistem pencernaan,  pada 2-9 bulan kebuntingan serta terjadinya kawin berulang.  Gambaran penyakit secara klinis bervariasi tergantung kepada virus BVD yang mengifeksi seperti kontak antar farm melalui peternak  yang berlansung kontak dengan sapi yang terinfeksi kepada sapi lainnya (Khars,1981).  Cara infeksi dapat melalui ihalasi, atau ditelat lewat mulut dari air ludah yang terinfeksi, cairan mata ataupu hidung, ataupun melalui feses atau urine yang terinfeksi (Stobe,1984;Duffel da Harkness,1985; Baker 1987). Infeksi menyebar secara cepat antar sapi yang peka, yaitu yang berumur muda, tetapi munculnya gejala klinis sangat berbeda bila ditinjau dari masa inkubasi penyakit dan intervalnya sangat beragam antara infeksi pada masa kebuntingan, ketika terjadi abortus ataupun anomali pada sapi saat kelahiran (KAHRS, 1981). Gambaran penyakit secara klinis diataraya yaitu infeksi non klinis yang tidak terlihat atau kejadian demam yang ringa (sering disebut sebagai gangguan respirasi) hingga kepada kejadian yang akut dan fatal. Infeksi kronis dapat juga terjadi. Kehilanga berat badan sering terjadi sporadic dan tanda klinis sering terlihat kurang dari 1% hewan  yang terinfeksi. Pada peternakan penghasil anak dan peternakan sapi perah, abortus dan anomaly kongenital merupakan dampak yang terasa secara ekonomis (Khars,1981)

3. Pencegahan serta pengawasan Terhadap Penyakit (BVD)
Beberapa negara Eropa secara nasional dan regional melakukan pengawasan dan pemberantasan penyakit BVD. Kebanyakan dari negara-negara tersebut menggunakan vaksin untuk pencegahan penyakit BVD tanpa adanya program  yangdisosialisasikan secara nasional, karena program vaksinasi tidak berlakusecara nasional. Di Jerman, vaksin digunakan di negara bagian yang prevalensi penyakit BVD-nya tinggi (HOUE et al.2006). Strategi pencegahan untuk pengawasan dan pemberantasan BVD yaitu:
a)      dengan vaksinasi secara teratur.
b)       pengvaksinan dilakukan pada usia mulai 14 – 21 hari setelah disapih.
c)      Untuk sapi dewasa vaksinasi boosterdilakukan pada sapi bunting dalam rangka pengujian terhadap kemungkinan terjadinya persistent infection pada sapi-sapi tersebut. Pada pejantan vaksinasi dilakukan tiap tahun. Pada sapi perah program vaksinasi dilakukan mulai umur 5 –6 bulan.
d)     Pengobatan dengan pemberian antibiotika, pencegahan dengan vaksinasi umur 9-10 bulan. Sanitasi dan desinfeksi kandang dan lingkungan penting untuk diperhatikan Vaksin inaktif seperti yang diamati oleh MCCLURKIN et al. (1975) secarakomersil tidak ada. Penggunaan yang praktis dan ekonomis masih belum ada teknologinya untuk mendapatkan produsen yang mampu menyediakan dosis cukup yang dibutuhkan sapi. Vaksin inaktif sangat aman digunakan pada sapi bunting dan pada kondisi apapun,karenapenggunaan vaksin modified live vaccine(MLV/vaksin hidup)masih bersifat kontra indikasi sampai saat ini. Akan tetapi vaksin inaktif membutuhkan pemberian yang berulang (KAHRS 1981)

SEMOGA BERMANFAAT :)